Hanya ada Hilal dan Anifa di kamar rumah sakit bernomor 415 itu. Setelah mendengar semua cerita Fatim, Anifa benar-benar akan mengikhlaskan apapun keputusan Hilal.
Meskipun Anifa berusaha agar terlihat kuat dihadapan Hilal, namun tetap saja ia tak dapat menyembunyikan kesedihan dari raut wajahnya.
-
"Sayang kok kelihatan sedih?" tanya Hilal.
-
"Ah enggak sedih kok, cuma lagi bayangin aja, kapan yah kita bisa duduk di kuade?"
-
"Kuade? Apa itu?"
-
"Itu lho sayang, tempat duduk pengantin."
-
"Oh maksudnya kursi pelaminan? Hehehe. Maaf aku nggak tau kuade, tapi taunya kuada untukmu selalu." Jawab Hilal dengan bakat sedari lahirnya, gombalan unch ulala ulala beibeh.
-
"Percuma kau ada untukku, tapi hatimu tak pernah ada."
-
"Hatiku lagi OTW kok." Sahut Hilal bercanda.
-
"Jangan pernah OTW jika kamu masih meragu. Hati yang meragu, OTW-nya tidak akan pernah sampai tujuan. Karena hanya orang-orang yang punya keyakinanlah yang selalu punya jalan hingga sampai tujuan. Dan keraguan itu milikmu, bukan milikku. Setiap nafas yang aku hembuskan, aku yakin ada campur tangan Allah. Pun dengan setiap langkah yang menggerakkan hati dan kaki ini untuk selalu menunggumu melamarku, sayang." Ujar Anifa menahan sesak di dada.
Alih-alih mencairkan suasana, pembicaraan justru semakin serius. Hilal sempat terdiam tak tahu harus berkata apa.
-
"Kegagalan di masa lalu dan kedatangannya kembali membuatku sulit untuk memilih. Aku sangat mencintaimu. Tapi aku sulit melupakan masa laluku. Kini aku tak tau harus terus berjalan ke depan, berhenti sejenak untuk memantapkan langkah, atau justru malah kembali ke belakang. Aku ragu siapa yang harus segera aku tuju."
-
"Iya aku paham kok. Kalau sayang masih ragu, jangan maju dan memilih aku. Tak apa, hidup adalah pilihan. Maju atau mundur kamu yang tau segala risikonya. Maka tanyalah pada Allah, mana yang lebih baik." Jawab Anifa dengan senyuman.
Anifa berusaha tegar dan tersenyum meski dalam hatinya harus menahan sakit. Setelah berbicara empat mata dengan Hilal, ia pun pergi keluar kamar. Anifa duduk bersandarkan tembok dan menangis sejadinya untuk melepaskan sesak di dada.
From @sajakmanissantri
No comments:
Post a Comment