Tiada ragu hati Anifa pada Hilal, meski Ulin menjadi sangat baik dan selalu ada saat hari-hari sepi Anifa, tetap saja hanya Hilal yang ada di hati dan pikirannya. Pagi ini Anifa pergi ke rumah Hilal untuk silaturahmi dan memastikan kabar Hilal sudah sehat.
-
“Assalamu’alaikum” salam santun manjah Anifa menggema di dalam rumah Hilal.
-
“Wa’alaikumsalam” jawab Hilal yang kemudian membukakan pintu dan mempersilakan Anifa duduk.
Hilal sudah tampak sehat, ia sudah bisa beraktivitas seperti biasanya. Di ruang tamu itu hanya ada Anifa dan Hilal. Ibunda Hilal seperti biasa berada di toko sembakonya.
-
“Kamu baru sembuh kok udah sibuk desain sih?” perhatian Anifa tak pernah habis meski Hilal tidak memilihnya.
-
“Iya nih aku harus desain undangan pernikahanku dengan Fatim bulan depan” jelas Hilal tanpa peduli perasaan Anifa.
Hilal menganggap Anifa sudah mengikhlaskannya untuk Fatim, sehingga Hilal lupa bahwa Anifa adalah perempuan yang benar-benar mencintainya dengan tulus dan mau mengorbankan apa saja demi kebahagiaan Hilal.
Mendengar kata menikah bulan depan, Anifa menyadari bahwa yang terjadi pada dirinya adalah nyata. Perkataan Hilal waktu itu bukanlah menguji ketulusan dan kesetiaan cintanya, melainkan benar Hilal memilih cinta pertamanya yang pernah lepas komunikasi selama tiga tahun itu.
-
“Selamat ya, aku ikut bahagia mendengarnya” jawab Anifa sambil menitihkan air mata.
-
“Kamu menangis?” tanya Hilal yang menyadari bahwa ucapannya tadi keluar di saat yang tidak tepat.
-
“Ini air mata bahagia” jawab Anifa berbohong, ia tersenyum untuk hatinya yang terluka.
Selama ini Anifa ingin meyakinkan Hilal akan ketulusan cinta dan kesetiaannya. Hilal selalu tidak yakin akan hubungan jarak jauh yang ia bangun dengan Anifa setelah kegagalan cintanya waktu itu dengan Fatim yang pergi jauh. Tetapi Hilal lupa akan semua itu setelah cinta pertamanya kembali datang.
Bersambung.
From @sajakmanissantri
No comments:
Post a Comment