Makalah Syarat dan Rukun Pernikahan

A.Syarat dan Rukun Pernikahan
Rukun nikah adalah sebagai berikut:
a. Adanya calon suami dan istri yang tidak terhalang dan terlarang secara syar’i untuk menikah. Di antara perkara syar’i yang menghalangi keabsahan suatu pernikahan misalnya si wanita yang akan dinikahi termasuk orang yang haram dinikahi oleh si lelaki karena adanya hubungan nasab atau hubungan penyusuan. Atau, si wanita sedang dalam masa iddahnya dan selainnya. Penghalang lainnya misalnya si lelaki adalah orang kafir, sementara wanita yang akan dinikahinya seorang muslimah.
b. Adanya ijab, yaitu lafadz yang diucapkan oleh wali atau yang menggantikan posisi wali. Misalnya dengan si wali mengatakan, “Zawwajtuka Fulanah” (“Aku nikahkan engkau dengan si Fulanah”) atau “Ankahtuka Fulanah” (“Aku nikahkan engkau dengan Fulanah”).
c. Adanya qabul, yaitu lafadz yang diucapkan oleh suami atau yang mewakilinya, dengan menyatakan, “Qabiltu Hadzan Nikah” atau “Qabiltu Hadzat Tazwij” (“Aku terima pernikahan ini”) atau “Qabiltuha.” Dalam ijab dan qabul dipakai lafadz inkah dan tazwij karena dua lafadz ini yang datang dalam Al-Qur`an.
Seperti firman Allah SWT:

 فَلَمَّا قَضَى زَيْدٌ مِنْهَا وَطَرًا زَوَّجْنَاكَهَا “
 “Maka tatkala Zaid telah mengakhiri keperluannya terhadap istrinya (menceraikannya), zawwajnakaha1 (Kami nikahkan engkau dengan Zainab yang telah diceraikan Zaid).” (Al-Ahzab:37)d.      Wali, wali adalah pengasuh pengantin perempuan pada waktu menikah atau orang yang melakukan janji nikah dengan pengantin laki-laki.
Dalam hadits disebutkan:

عَدْلٍ، وَشَاهِدَيْ بِوَلِيٍّ إِلاَّ نِكَاحَ لَا
 “Tidak ada nikah kecuali dengan adanya wali dan dua orang saksi yang adil.”(HR.Al-Khamsah kecuali An-Nasa’i)Seorang wanita tidak memiliki wali nasab atau walinya enggan menikahkannya, maka hakim/penguasa memiliki hak perwalian atasnya dengan dalil sabda Rasulullah Shallallahu’alaihi wa salam:
لَهُ وَلِيَّ لاَ مَنْ وَلِيَّ وَالسُّلْطَانُ
“Dan sulthan (penguasa) adalah wali bagi wanita yang tidak memiliki wali.”(HR. Abu Dawud)Karena keberadaan wali nikah merupakan rukun, maka harus dipenuhi beberapa syarat. Dalam pasal 20 KHI ayat(1) dirumuskan sebagai berikut: “yang bertindak sebagai wali nikah adalah seorang laki-laki yang memenuhi syarat hukum islam yakni muslim, aqil dan baligh”Wali nikah ada dua macam yaitu:
1. Wali NasabAdalah wali yang hak perwalianya didasarkan karena adanya hubungan darah. Baik orang tua kandung, dan bisa juga wali aqrob dan ab’ad.
2. Wali Hakim
Adalah wali yang hak perwalianya timbul, karena orang tua mempelai perempuan menolak (‘adhal) atau tidak ada, atau karena sebab lain.e.       Dua orang saksi saksi adalah orang yang menyaksikan sah atau tidaknya suatu pernikahan. Hadits Jabir bin Abdullah r.a:

عَدْلٍ، وَشَاهِدَيْ بِوَلِيٍّ إِلاَّ نِكَاحَ لَا

 (رواه الطبراني، وهو في صحيح الجامع 7558)

Tidak ada nikah kecuali dengan adanya wali dan dua saksi yang adil.”(HR. Al-Khamsah kecuali An-Nasa’i).2.2 Syarat Nikaha. Syarat calon pengantin pria sebagai berikut :1. Beragama Islam2. Tidak dipaksa3. Tidak beristri empat orang4. Bukan Mahram bakal istri5. Mengetahui bakal istri tidak haram dinikahinya6 Tidak sedang dalam ihram atau umrah.Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

يَخْطُبُ وَلاَ يُنْكَحُ وَلاَ الْمُحْرِمُ يَنْكِحُ لاَ
 “Seorang yang sedang berihram tidak boleh menikahkan, tidak boleh dinikahkan, dan tidak boleh mengkhitbah.” (HR. Muslim)

b. Syarat calon pengantin wanita sebagai berikut:
1. Beragama Islam
2.Telah memberi izin kepada wali untuk menikahkannyaHadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu:
تُسْتَأْذَنَ حَتَّى الْبِكْرُ تُنْكَحُ وَلاَ تُسْتَأْمَرَ حَتَّى اْلأَيِّمُ تُنْكَحُ لاَ

“Tidak boleh seorang janda dinikahkan hingga ia diajak musyawarah/dimintai pendapat, dan tidak boleh seorang gadis dinikahkan sampai dimintai izinnya.” (HR. Al-Bukhari no. 5136 dan Muslim no. 3458)

Terkecuali bila si wanita masih kecil, belum baligh, maka boleh bagi walinya menikahkannya tanpa seizinnya.
1. Tidak bersuami dan tidak dalam iddah
2. Bukan mahram bakal suami
3. Belum pernah dili'an (sumpah li'an) oleh bakal suami.
4. Tidak sedang dalam ihram haji atau umrah

c.Syarat wali sebagai berikut :
1.Beragama Islam
2.Baligh
3. Berakal
4.Tidak dipaksa
5.Adil ( bukan fasik )
6.Tidak sedang ihram haji atau umrah
7.Tidak dicabut haknya dalam menguasai harta bendanya oleh pemerintah (mahjur bissafah)
8. Tidak rusak pikirannya karena tua atau sebagainya.

B. Hukum akad nikah yang dihadiri salah satu pihakPerkawinan Tanpa Dihadiri Salah Satu Pihak Menurut Hukum Islam dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, bahwa Ketidakhadiran salah satu pihak calon mempelai tetap dilakukan Ijab Qabul melalui seseorang wakil dengan pengangkatan yang dilakukan melalui surat kuasa baik secara otentik maupun di bawah tangan dengan persetujuan Pejabat yang berwenang, menurut Fiqih Islam perkawinan melalui wakil adalah sah selama memenuhi rukun dan syarat perkawinan. Bahwa berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 setiap perkawinan yang dilakukan harus berdasarkan agama dan kepercayaan masing-masing dan tiap perkawinan haruslah dicatatkan menurut peraturan yang berlaku, Dalam perkawinan dapat dikatakan dengan sah apabila suatu perkawinan telah memenuhi rukun dan syarat baik menurut Hukum Islam maupun Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang 

Perkawinan, maka memiliki akibat hukum yang dapat dirumuskan sebagai berikut :
1. Menjadi halal melakukan hubungan seksual. 
2. Mas Kawin yang diberikan menjadi milik sang isteri. 
3. Timbulnya hak-hak dan kewajiban antara suami isteri 
4. Anak yang dilahirkan dari perkawinan itu menjadi anak yang sah. 
5. Timbul Kewajiban suami untuk membiayai dan mendidik anak dan isterinya serta mengusahakan tempat tinggal bersama. 
6. Berhak saling waris mewarisi antara suami isteri dan anak dengan orang tua.
7. Timbulnya larangan perkawinan karena hubungan semenda.
8. Bapak berhak menjadi wali Nikah bagi anak Perempuannya. 
9. Bila diantara suami atau isteri meninggal salah satunya, maka yang lainnya berhak menjadi wali pengawas terhadap anak dan hartanya. Hendaklah kita sebagai masyarakat dapat mengerti dan memahami tentang kriteria suatu perkawinan yang dapat dinyatakan sah baik menurut Hukum Islam dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 serta dapat mengerti dan memahami bahwa perkembangan zaman yang semakin maju, akan menimbulkan suatu dampak dalam perkembangan hukum, sehingga munculnya permasalahan perkawinan melalui wakil akibat dari pesatnya perkembangan zaman dan tuntutan kebutuhan hidup. Hendaklah para penegak hukum dapat berlaku adil didalam melaksanakan Penegakan hukum terkait dengan perkawinan melalui wakil.

C. Saksi dalam akad nikahSaksi menurut bahasa berarti orang yang melihat atau mengetahui sendiri suatu peristiwa (kejadian). Sedangkan menurut istilah adalah orang yang memberitahukan keterangan dan mempertanggungjawabkan secara apa adanya.

Rasulullah sendiri dalam berbagai riwayat hadits walaupun dengan redaksi berbeda-beda menyatakan urgensi adanya saksi nikah, sebagaimana dinyatakan dalam sebuah hadits:
 عَدْلٍ، وَشَاهِدَيْ بِوَلِيٍّ إِلاَّ نِكَاحَ لَا
“Tidak sah suatu akad nikah kecuali (dihadiri) wali dan dua orang saksi yang adil”.

Mayoritas fuqaha’, mereka itu ulama Hanafiyah dan Asy-Syafi’iyah dan yang masyhur pendapat ulama Hanbaliyah, pengumuman nikah dapat dicapai melalui persaksian dalam akad dan persaksian ini merupakan ukuran minimal dalam pengumuman. Persaksian tidak boleh cacat dan akad menjadi tidak sah tanpa persaksian. Adapun penggabungan sesuatu dari beberapa periklanan dan pengumuman lain hukumnya dianjurkan (mustahab). Andaikata yang dilakukan hanya berbagai periklanan dan pengumuman nikah tanpa persaksian pada akad, maka akadnya rusak. Persaksian ketika berlangsungnya akad menurut mereka wajib bagi keabsahannya.Menurut Malikiyah saksi tidak d
ibutuhkan kehadirannya pada saat aqad, namun saksi akan diharuskan kehadirannya setelah aqad sebelum suami mencampuri isterinnya. Malikiyah justru mengutamakan i’lan nikah dari pada kesaksian itu sendiri, karena dalam i’lan sudah mencakup kesaksian. Meski demikian mereka tetap menghadirkan dua orang saksi sebagai wujud pengamalan mereka terhadap hadits tersebut. Hal ini didasarkan pada pandangan Malikiyah, yang benar-benar mengedepankan praktek ahli Madinah yang pada waktu itu mengamalkan hadits-hadits yang berkaitan dengan i’lan.Dalam peraturan perundangan yaitu KUHP Pasal 1 (26) dinyatakan tentang pengertian saksi yaitu: “Saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan perkara tentang suatu perkara yang ia dengar sendiri, ia lihat dan ia alami sendiri dengan menyebut alas an dari pengetahuannya itu”.

No comments:

Post a Comment