Makalah Adab Bertetangga


A. Definisi Tetangga
Secara etimologi Kata Al Jaar (الْجَار)  dalam bahasa Arab berarti tetangga.[1] Ibnu Mandzur berkata: الجِوَار , الْمُجَاوَرَة dan الْجَارُ bermakna orang yang bersebelahan denganmu. Bentuk pluralnya أَجْوَارٌ , جِيْرَةٌ dan جِيْرَانٌ”. Dalam KBBI Tetangga diartikan orang (rumah) yg rumahnya berdekatan atau sebelah-menyebelah; jiran. Sedangkan secara terminologi (syara’) bermakna orang yang bersebelahan secara syar’i baik dia seorang muslim atau kafir, baik atau jahat, teman atau musuh, berberbuat baik atau jelek, bermanfaat atau merugikan dan kerabat atau bukan kerabat.
Ibnu hajar Al Asqalaaniy menyatakan: “Nama tetangga meliputi semua orang islam dan kafir, ahli ibadah dan fasiq, teman dan lawan, warga asing dan pribumi, orang yang bermanfaat dan merugikan, kerabat dan bukan kerabat dan dekat rumahnya atau jauh. Tetangga memiliki tingkatan, sebagiannya lebih tinggi dari sebagian yang lainnya."[2]
Jauh dan dekat merupakan jarak yang masih melahirkan ambiguitas atau relatifitas dalam penafsiran dan interpretasi, karena tidak disebutkan secara ekplisit ukuran seberapa jauh dan dekat dinamakan tetangga dalam nominal. Hal ini akan mempengaruhi hak-hak bertetangga. Untuk itu, sebagai batasan (mani’) para ulama mennguruaikannya dengan merujuk dari berbagai dalil, sekalipun masih diperselisihkan. Adapun batasan-batasannya adalah:
1. Empat puluh rumah dari semua arah. Ini adalah pendapat paling mu’tabar yang disampaikan Aisyah Radliyallahu‘anha Azzuhriy dan Al Auzaa’iy.[3]
2. Sepuluh rumah dari semua arah.
3. Rumah yang menempel dan bersebelahan.
4. Mereka yang disatukan satu masjid.
5. Orang yang se-kota. Sebagian ulama yang berpendapat ini berdasarkan dalil firman Allah SWT:
لَّئِن لَّمْ يَنْتَهِ الْمُنَافِقُونَ وَالَّذِينَ فِي قُلُوبِهِم مَّرَضٌ وَالْمُرْجِفُونَ فِي الْمَدِينَةِ لَنُغْرِيَنَّكَ بِهِمْ ثُمَّ لاَيُجَاوِرُونَكَ فِيهَآ إِلاَّ قَلِيلاً
            Sesungguhnya jika tidak berhenti orang-orang munafik, orang-orang yang berpenyakit dalam hatinya dan orang-orang yang menyebarkan kabar bohong di Madinah (dari menyakitimu), niscaya Kami perintahkan kamu (untuk memerangi) mereka, kemudian mereka tidak menjadi tetanggamu (di Madinah) melainkan dalam waktu yang sebentar.

Adapun yang lebih rajih insya Allah batasan-batasannya kembali kepada adat yang berlaku (al ‘adatu mukhakkamatu), yaitu apa yang menurutnya tetangga adalah tetangga.

B.     Urgensi Kedudukan Tetangga dalam Wasiat Islam
Terkait wasiat terhadap tetangga dalam sebuah hadist sahih oleh beberapa perawi disebutkan:
حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيلُ بْنُ أَبِي أُوَيْسٍ قَالَ حَدَّثَنِي مَالِكٌ عَنْ يَحْيَى بْنِ سَعِيدٍ قَالَ أَخْبَرَنِي أَبُو بَكْرِ بْنُ مُحَمَّدٍ عَنْ عَمْرَةَ عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَا زَالَ يُوصِينِي جِبْرِيلُ بِالْجَارِ حَتَّى ظَنَنْتُ أَنَّهُ سَيُوَرِّثُهُ
Telah menceritakan kepada kami Isma'il bin Abu Uwais dia berkata; telah menceritakan kepadaku Malik dari Yahya bin Sa'id dia berkata; telah mengabarkan kepadaku Abu Bakr bin Muhammad dari 'Amrah dari Aisyah radliallahu 'anha dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam beliau bersabda: Jibril senantiasa berwasiat kepadaku dengan tetangga sehingga aku menyangka tetangga tersebut akan mewarisinya.”[4]

Hadits ini menunjukan urgensi kedudukan tetangga dalam Islam sangatlah diperhatikan. Hingga sedemikian rupa Rosulullah SAW berasumsi terhadap posisi kedudukan tetangga. Untuk itu tetangga memiliki kedudukan yang sangat penting dan harus selalu kita perhatikan hak-haknya, sehingga kita dapat benar-benar merealisasikan Islam adalah agama Rahmat lil ‘alamin.
Dalam hadits lain Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam menetapkan pelanggaran kehormatan tetangga sebagai salah satu dosa terbesar dalam sabdanya ketika ditanya:
أي الذنبِ عند اللَّه أكبر قال أن تجْعل للّه ندا وهو خلقك قلت ثم أي قال ثم أن تقتل ولدك خشية أن يطعم معك قلت ثم أي قال أن تزاني بحليلة جارك
 “Dosa apa yang terbesar disisi Allah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam menjawab: “Menjadikan sekutu tandingan Allah, padahal Allah yang menciptakanmu”. Saya (Ibnu Mas’ud) bertanya: “Kemudian apa?” beliau menjawab: “Kemudian membunuh anakmu karena khawatir dia makan bersamamu” lalu saya bertanya lagi: “Kemudian apa?” beliau menjawab: “Berzina dengan istri tetanggamu.”[5]

 Bahkan jika kita menengok pada firman Allah SWT, hak atau kedudukan tetangga disambungkan dengan perihal tauhid, ibadah, serta berbuat bakti kepada kedua orang tua, anak yatim dan kerabat, sebagaimana firman-Nya:
 وَاعْبُدُوا اللهَ وَلاَتُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا وَبِذِي الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينِ وَالْجَارِ ذِي الْقُرْبَى وَالْجَارِ الْجُنُبِ وَالصَّاحِبِ بِالْجَنبِ وَابْنِ السَّبِيلِ وَمَامَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ إِنَّ اللهَ لاَيُحِبُّ مَن كَانَ مُخْتَالاً فَخُورًا O
“Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun. Dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapak, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh, teman sejawat, ibnu sabil dan hamba sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membangga-banggakan diri”. (QS. An Nisaa’:36)

Tafsir ayat ini disampaikan oleh Imam Al Qurtubi dalam pertanyataanya: “Sungguh Allah telah memerintahkan kita menjaga tetangga dan menunaikan haknya. Mewasiatkan untuk menjaganya dalam Al Quran dan melalui lisan Rasulullah صلى ا لله عليه وسلم. bukankah kamu lihat Allah menegaskannya setelah hak kedua orang tua dan kerabat dalam firmanNya: وَالْجَارِ ذِيالْقُرْبَى yaitu kerabat, dan وَالْجَارِ الْجُنُبِ yaitu orang asing (bukan kerabat). Ini adalah pendapat Ibnu Abbas”[6]

C.    Hak-hak Tetangga
Senada dengan kedudukan tetangga dalam Islam yang sangat diperhatikan eksistensinya, begitu juga dengan hak-hak tetangga. Jika dikaji lebih dalam dan terperinci maka terdapat seabreg hak-hak tetangga yang harus dipenuhi satu sama lain. Namun, dalam kajian literatur hadits tarbawi terdapat empat hak-hak tetangga, yaitu:

a.)    Berbuat baik terhadap tetangga
Rasulullah Sallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda:
عن عبد الله بن عمرو، قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم ‏"‏ خَيْرُ اْلأَصْحَابِ عِنْدَ اللهِ خَيْرُهُمْ لِصَاحِبِهِ وَخَيْرُ الْجِيرَانِ عِنْدَ اللهِ خَيْرُهُمْ لِجَارِهِ   ‏.‏ قال أبو عيسى هذا حديث حسن غريب
Sebaik-baiknya sahabat disisi Allah adalah yang paling baik kepada sahabatnya dan sebaik-baik tetangga di sisi Allah adalah yang paling baik kepada tetangganya”[7]
Adapun berbuat baik kepada tetangga, Rasulullah SAW dalam sabdanya mendidik kita dengan cara:
Pertama: Memulaikan tetangga. Rasullah bersabda:
حَدَّثَنِي حَرْمَلَةُ بْنُ يَحْيَى أَنْبَأَنَا ابْنُ وَهْبٍ قَالَ أَخْبَرَنِي يُونُسُ عَنْ ابْنِ شِهَابٍ عَنْ أَبِي سَلَمَةَ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُتْ وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلْيُكْرِمْ جَارَهُ وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلْيُكْرِمْ ضَيْفَهُ
“Barangsiapa beriman kepada Allah & hari akhir, maka hendaklah dia mengucapkan perkataan yg baik atau diam. Dan barangsiapa yg beriman kepada Allah & hari akhir maka hendaklah dia memuliakan tetangganya. Dan barangsiapa beriman kepada Allah & hari akhir maka hendaklah dia memuliakan tamunya” (HR. Muslim No. 67)

Kedua: Berbela sungkawa ketika mendapat musibah dengan ta’ziyah, mengucapkan selamat ketika bahagia, menjenguknya ketika sakit, memulai salam dan bermuka manis ketika bertemu dan membimbingnya terhadap kebaikan.
Aisyah Radliyallahu’anha bertanya kepada Rasulullah:
يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ لِي جَارَيْنِ فَإِلَى أَيِّهِمَا أُهْدِي قَالَ إِلَى أَقْرَبِهِمَا مِنْكِ بَابًا
Wahai Rasululloh صلى ا لله عليه وسلم saya memiliki dua tetangga lalu kepada siapa dari keduanya aku memberi hadiyah? Beliau menjawab: kepada yang pintunya paling dekat kepadamu.[8]

Ketiga: memberi rasa aman terhadap tetangga. Sebagaimana dalam sabda rasulullah:
لا وَاللَّهِ لا يُؤْمِنُ لا وَاللَّهِ لا يُؤْمِنُ لا وَاللَّهِ لا يُؤْمِنُ قَالُوا وَمَنْ ذَاكَ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ جَارٌ لاَ يَأْمَنُ جَارُهُ بَوَائِقَهُ
 “Tidak demi Allah tidak beriman, tidak demi Allah tidak beriman, tidak demi Allah tidak beriman mereka bertanya: siapakah itu wahai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam beliau menjawab: “Orang yang tetangganya tidak aman dari kejahatannya.” (HR Bukhori)
Dari Anas ra. Rasulullah saw bersabda:
وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لاَ يُؤْمِنُ عَبْدٌ حَتَّى يُحِبَّ لِجَارِهِ أَوْ قَالَ ِلأَخِيهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ
“Demi Allah, tidak dikatakan beriman seorang hamba hingga ia mencintai tetanga atau saudaranya seperti mencintai dirinya sendiri.” (HR Muslim).
Dalam hadits lain dengan redaksi yang berbeda namun substansinya sama, Rasulullah bersabda:
لَا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ مَنْ لَا يَأْمَنُ جَارُهُ بَوَائِقَهُ

Tidak masuk syurga orang yang tetangganya tidak aman dari kejahatannya”(HR. Muslim dan Abu Hurairah.

Dari beberapa hadits tersebut dapat kita perhatikan manifestasi kasih sayang dan rasa cinta yang ditanamkan agama Islam sangat urgen dalam kehidupan bertetangga. Bahkan pada salah satu hadits Rasululah bersumpah dengan mengulang-ulang kalimat sumpah (harf qasm) dalam rangka menguatkan (littauqid), hal ini menunjukkan kesunggahan Rasulullah SAW dalam mendidik kita bagaimana bertetangga yang baik.

b.)   Peduli dan perhatian kepada tetangga.
عن أبي ذر، قال إن خليلي صلى الله عليه وسلم أوصاني ‏"‏ إذا طبخت مرقا فأكثر ماءه ثم انظر أهل بيت من جيرانك فأصبهم منها بمعروف ‏"
“Dari Abu Dzar beliau berkata: “Kekasihku shallallahu ‘alaihi wassalam telah berwasiat kepadaku, jika kamu memasak kuah daging maka perbanyak kuahnya kemudian lihat keluarga tetanggamu dan berikanlah sebagian kepada mereka.”[9]
Dalam riwayat lain disebutkan:
يَا أَبَا ذَرٍّ إِذَا طَبَخْتَ مَرَقَةً فَأَكْثِرْ مَاءَهَا وَتَعَاهَدْ جِيرَانَكَ
“Wahai Abu Dzar jika engkau memasak masakan berkuah maka perbanyaklah kuahnya dan pedulilah terhadap tetanggamu”. (HR. Muslim)
Dari Abu Hurairah ra. Ia berkata Rasulullah saw bersabda:
يَا نِسَاءَ الْمُسْلِمَاتِ لاَ تَحْقِرَنَّ جَارَةٌ لِجَارَتِهَا وَلَوْ فِرْسِنَ شَاةٍ
“Dari Abu Haurairah ra berkata: Nabi Muhammad saw pernah bersabda: Wahai para wanita muslimah, janganlah ada seorang tetangga yag meremehkan hadiah tetangganya meskipun kikil (kaki) kambing”. (H.R. Bukhari-Muslim)

Rasulullah صلى ا لله عليه وسلم menyatakan dalam hadits Abdullah bin Musaawir, beliau mendengar Ibnu Abbas meminta Ibnu Zubair dan beliau menolaknya. Lalu Ibnu Abbas berkata: Aku mendengar Rasulullah bersabda:
لَيْسَ الْمُؤْمِنُ الَّذِيْ يَشْبَعُ وَجَارُهُ جَائعٌ إِلَى جَنْبِهِ
“Tidak termasuk mukmin orang yang kenyang padahal tetangga sampingnya kelaparan”[10]

Subhanallah. Sedemekian rupa Islam memposisikan tetangga dalam kehidupan sehari-hari. Betapa kita tidak dididik bersikap apatis terhadap tetangga, melainkan peduli dan perhatian terhadapnya. Kita patut dan harus bercermin, berintropeksi, memandag diri sendiri dengan pendidikan dari Sang Murabbi Rosulullah Salallahu’alaihi wa salam melalui hadits-hadits tersebut.

c.)    Menjaga dan memelihara tetangga
Imam Ibnu Abi Jamroh berkata: “Menjaga tetangga termasuk kesempurnaan iman. Orang jahiliyah dahulu sangat menjaga hal ini dan melaksanakan wasiat berbuat baik ini dengan memberikan beraneka ragam kebaikan sesuai kemampuan; seperti hadiyah, salam, muka manis ketika bertemu, membantu memenuhi kebutuhan mereka, menahan sebab-sebab yang mengganggu mereka dengan segala macamnya baik jasmani atau maknawi. Apalagi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam telah meniadakan iman dari orang yang selalu mengganggu tetangganya. Ini merupakan ungkapan tegas yang mengisyaratkan besarnya hak tetangga dan mengganggunya termasuk dosa besar.”

d.)   Sabar menghadapi gangguan tetangga
Imam Al Marwaziy meriwayatkan dari Al Hasan Al Bashriy pernyataan beliau: “Tidak mengganggu bukan termasuk berbuat baik kepada tetangga akan tetapi berbuat baik terhadap tetangga dengan sabar atas gangguannya.”
Rasulullah bersabda dalam hadits Abu Dzar:
ثَلَاثَةٌ يُحِبُّهُمُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ رَجُلٌ غَزَا فِي سَبِيلِ اللَّهِ فَلَقِيَ الْعَدُوَّ مُجَاهِدًا مُحْتَسِبًا فَقَاتَلَ حَتَّى قُتِلَ وَرَجُلٌ لَهُ جَارٌ يُؤْذِيهِ فَيَصْبِرُ عَلَى أَذَاهُ وَيَحْتَسِبُهُ حَتَّى يَكْفِيَهُ اللَّهُ إِيَّاهُ بِمَوْتٍ وَرَجُلٌ يَكُونُ مَعَ قَوْمٍ فَيَسِيرُونَ حَتَّى يَشُقَّ عَلَيْهِمُ الْكَرَى أَوِ النُّعَاسُ فَيَنْزِلُونَ فِي آخِرِ اللَّيْلِ فَيَقُومُ إِلَى وُضُوئِهِ وَصَلَاتِهِ
“Tiga orang yang Allah cintai, seorang yang berjumpa musuhnya dalam keadaan berjihad dan mengharap pahala Allah, lalu berperang sampai terbunuh dan seseorang memiliki tetangga yang mengganggunya lalu ia sabar atas gangguan tersebut dan mengharap pahala Allah sampai Allah cukupkan dia dengan meninggal dunia serta seseorang bersama satu kaum lalu berjalan sampai rasa capai atau kantuk menyusahkan mereka, kemudian mereka berhenti diakhir malam, lalu dia bangkit berwudhu dan sholat”[11] 
Jelaslah bahwa berbuat baik dengan tetangga tidaklah cukup dengan tidak mengganggunya, namun dengan bersikap sabar dengan tetangga atas gangguanya. Sederhana, sarat makna. Hal ini acap kali kita jumpai dalam kehidupan sehari-hari. Jika semua manusia mengetahui dan mengaplikasikan substansi dan esensi hadits ini, tercapailah puncak dari kenyamanan kehidupan dengan sejatinya keharmonisan.

D.    Kesimpulan
Euforia terhadap kemajuan tekhnonologi dan perkembangan globalisasi semakin terasa dalam kehidupan masyarakat kita. Hal tersebut tercermin dari pola hidup kita yang serba instan dan cepat kilat dalam memenuhi keinginan atau kebutuhan. Satu sisi kemajuan tersebut mempunyai banyak nilai positif. Disisi lain terdapat nilai negatif yaitu berkurangnya interaksi seseorang terhadap orang lain, sikap apatis, individualis, dan lain sebagainya. Senada dengan pengaruh kemajuan tekhnologi, era persaingan dan gaya hidup hedonisme juga muncul. Dimana segala sesuatu dinilai dari uang dan harta (matrialistik). Dan pada titik akhir, sikap kasih sayang, tolong menolong, peduli terhadap orang lain dalam hal ini pada kehidupan bertetangga sangatlah minim.
Oleh karenannya dalam rangka menjadi muslim yang seutuhnya (Kaffah) substantif bukan simbolis, merupakan sebuah keharusan bagi kita selaku muslim untuk mengaplikasikan dan merelisasikan ajaran agama Islam tentang bagaimana bersikap terhadap orang lain terlebih terhadap tetangga. Melalui kajian cukup sederhana dan ringkas ini penyusun makalah mebaginya pada 4 hal dalam bersikap atau dapat dikatakan kode etik bertetangga perspektif hadits yaitu: Pertama: Berbuat baik atau memuliakan tetangga. Kedua: Peduli dan perhatian terhadap tetangga. Ketiga: menjaga solidaritas atau homonisasi tetangga. Keempat:Bersikap sabar terhadap tetangga atas gangguanya.









[1]  A. Warson Munawwir, Kamus Al-munawwir Arab-Indonesia, (Yogyakarta: Pustaka progreseif, 1997)., h. 222
[2]  fathul bari Juz 10 hal. 442
[3]  Ibid., h. 447
[4]  -Muslim dalam Shahihnya, kitab Al Birr wa Al Shilah wa Al Adab, Bab Al Washiyah Bil Jaar  Wal Ihsan Ilaihi, No. 6852, 6853, dan 6854
- Abu Daud dalam Sunannya, kitab Al Adab, Bab Fi Haqil Jiwaar, No. 5153, 5154
- Attirmidziy dalam Sunannya, kitab Al Bir Wash Shilah, Bab Ma Ja’a Fi Haqil Jiwaar No. 2068, 2069
- Ibnu Majah dalam Sunannya, kitab Al Adab, Bab Haqul Jiwaar No. 3804

[5] Al Bukhari dalam Shohih-nya, kitab Al Adab, Bab Al Washiyah Bil Jaar no. 6014

[6] Syeikh Ali Hasan Abdul Hamid, kitab Huququl Jaar Fi Shohihis Sunnah wal Atsar,  h. 14.
[7] Attirmidziy dalam Jami’nya, No. 2070 
[8] Riwayat Bukhori, Kitab Assuf’ah, Bab Ayul Jiwari Aqrab, No. 2099.

[9] Muslim dalam Shahihnya,  No. 6855, dan 6856
[10] Riwayat Al Bukhoriy dalam Al Adabul Mufrad No.112, Al Haakim 4/167 dan dihasankan Syeikh Ali Hasan Abdulhamid dalam Huququl Jaar Fi Shohihis Sunnah wal Atsar, karya Syeikh Ali Hasan Abdul Hamid hal 28
[11]Syeikh Ali Hasan Abdul Hamid, Huququl Jaar Fi Shohihis Sunnah wal Atsar , h., 32.
   Riwayat Ahmad dengan sanad yang shohih, 

No comments:

Post a Comment