Cirebon, NU Online
Mustasyar Pengurus Besar Nahdlatul Ulama KH Adib Rofiuddin Izza menyinggung maraknya orang menyampaikan fatwa, tetapi tidak memahami Islam. Orang demikian menurutnya sering beranggapan dirinya paling benar. Hal ini membuatnya mengafirkan dan membid’ahkan orang lain.
Sebagai contoh, ada pengajian yang menamakan pengajian Al-Qur'an . Tetapi, pengajar tidak mengerti ilmu penopang pemahaman terhadap Al-Qur'an, seperti nahwu, sharaf, mantik, balaghah, dan lainnya.
Kedalaman diksi Al-Qur’an juga perlu dipahami. Jika hanya mengandalkan terjemahan saja, tentu tidak akan membedakan dua kata yang maknanya sama tetapi berbeda maksud. Kiai Adib mencontohkan tiga makna, yakni kekal, buruk, dan cipta.
Kata khalid dan baqa bermakna kekal. Tetapi, kedua kata ini berbeda maksudnya. Khalid itu kekal yang lebih dulu rusak atau tidak ada, lalu dikekalkan. Kata surga dan neraka selalu bersanding dengan khalid, bukan baqa. Ini karena surga dan neraka sebelumnya tidak ada, lalu diadakan dan dikekalkan oleh Allah.
Berbeda dengan baqa, Ketua Umum Yayasan Lembaga Pendidikan Islam (YLPI) Buntet Pesantren itu menjelaskan bahwa baqa merupakan sifat Allah. Kekalnya Allah itu tidak ada kerusakan sejak mulanya dan kekal dengan sendirinya, tidak dikekalkan.
“Tidak bakal rusak dari awal sampai akhir,” kata Kiai Adib saat mengisi pengajian rutin di kediamannya di Pondok Buntet Pesantren, Cirebon, Jawa Barat, Rabu (25/4).
Selain itu, kata su’ dan fahisya merupakan dua kata yang bermakna sama, buruk. Tetapi maksudnya berbeda. Kata pertama merujuk pada keburukan pribadi, sedangkan kata kedua berakibat menggelisahkan orang lain. “Ini beda,” tegas kiai empat anak itu.
Mabuk, zina, dan mencuri merupakan contoh perbuatan buruk fahisya. Maka ada ayat yang menyatakan, innahu kaana fahisyatan wa sa’a sabila.
Khalaqa dan ja'ala berarti menciptakan atau menjadikan. Tetapi, makna lebih dalamnya lagi berbeda. Khalaqa itu menjadikan dengan tanpa campur tangan manusia. Sehingga, ketika Allah berfirman tentang langit dan bumi kalimatnya khalaqa.
Adapun ja’ala bermakna menciptakan, tetapi dengan adanya campur tangan manusia. Artinya, manusia turut berperan dalam mewujudkan hal itu. “Makanya kalau doa Allahumma (i)j’al,” katanya.
Hal serupa juga dapat dilihat dalam ayat Al-Qur’an yang berbicara tentang pernikahan. Ketika menyebutkan diksi azwaja, kata kerjanya khalaqa. Ini disebabkan yang menciptakan pasangan tentu Allah swt. Tetapi saat membicarakan rasa cinta, itu menggunakan kata ja’ala, wa ja’ala baynakum mawaddatan wa rahmah.
Perbedaan makna-makna ini tentu tidak akan ditemukan dalam terjemahan. Hal ini perlu digali dengan keilmuan lainnya. (Syakir NF/Kendi Setiawan)
No comments:
Post a Comment