PERANAN ASWAJA DALAM MELESTARIKAN
NILAI NILAI PENDIDIKAN
Disusun
Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah
Disusun
oleh:
Miftahudin
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM ASSHIDDIQIYAH
FAKULTAS
TARBIYAH PRODI MANAJEMEN PENDIDIKAN ISLAM
ASSHIDDIQIYAH
KARAWANG
TAHUN
AKADEMIK
2015
BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pada saat sekarang ternyata masih ada
orang yang belum faham apa itu ahlus sunnah wal jama'ah aswaja dan bagaimana ahlus sunnah
wal jama'ah aswaja. Kalau membahas secara mendetail apa dan bagaimana itu Ahlus
Sunnah Wal Jama'ah aswaja memang
sangat panjang dan untuk menulisnya membutuhkan banyak waktu.
Pengertian Ahlus Sunnah Wal Jama'ah aswaja.
Definisi Aswaja Secara umum adalah :
satu kelompok atau golongan yang senantiasa komitmen mengikuti sunnah Nabi SAW.
Dan Thoriqoh para shabatnya dalam hal aqidah, amaliyah fisik ( fiqih) dan
hakikat ( Tasawwuf dan Akhlaq ) .
Sedangkan definisi Aswaja secara
khusus adalah : Golongan yang mempunyai I’tikad / keyakinan yang searah dengan
keyakinan jamaah Asya’iroh dan Maturidiyah. Secara khusus bukan lain adalah
merupakan juz dari definisi yang secara umum, karena pengertian Asya’iroh dan
Ahlussunnah adalah golongan yang komitmen berpegang teguh pada ajaran Rasul dan
para sahabat dalam hal aqidah. namun penamaan golongan Asya’iroh dengan nama
Ahli sunnah Wa Al Jamaah hanyalah skedar memberikan nama juz dengan menggunakan
namanya kulli.
Aswaja sebagai organisasi, golongan
atau kelompok yang senantiasa dalam mengikuti sunah Nabi SAW, tidak lepas
perananya dalam bidang pendidikan islam di Indonesia,sebagai dasar perjuangan
aswaja dalam berbagai aspek demi terwujudnya masyarakat adil dan makmur yang
menjadi cita-cita seluruh masyarakat Indonesia terlebih cita-cita Nabi Muhammad
SAW.
Khittah aswaja secara internal
mempunyai ikhtiyar-ikhtiyar dalam rangka mengembangkan eksistensi Nahdliyin,
antara lain: peningkatan kegiatan dibidang keilmuan, pengkajian, dan
pendidikan; peningkatan taraf dan kualitas hidup masyarakat melalui kegiatan-
kegiata terarah; peningkata silaturrahmi dan peningkatan pelayanan sosial.
Hal ini tentunya selaras dengan tujuan dari pendidikan
nasional yang tercantum pada Undang-Undang No.20 tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional. Yaitu:
Pendidikan Nasional bertujuan untuk
berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan
bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap,
kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis.
Ditinjau dari konteks historinsnya,
aswaja tidak bisa dipisahkan dari sejarah pendidikan di negri ini. Terdapat
visi dan misi khusus yang diusung oleh Nabi Muhammad SAW ketika mendapat wahyu
pertama di gua hiro yaitu iqro/bacalah. Hal ini dibuktikan dengan berdirinya
lembaga-lembaga pesantren di era bangsa ini belum merdeka lalu berkembang
menjadi sistim pendidikan madrasah.
B. Tujuan
Tujuan dari
penulisan makalah ini adalah:
1.
Untuk
memenuhi sebagian tugas mata kuliah aswaja?
2.
Agar
siswa mengetahui definisi aswaja dan pendidikan?
3.
Mengetahui peran aswaja terhadap
pendidikan?
4. Mengetahui tujuan aswaja terhadap
pendidikan?
5. Mengetahui pendidikan berbasis
sekolah?
C.
Ruang
Lingkup Materi
Pada pembuatan makalah ini, materi hanya dibatasi pada
pengertian aswaja dan pendidikan islam dalam dunia pendidikan yang meliputi definisi dan
komponen yang terdapat pada aswaja.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Aswaja dan Pendidikan
Konsep aswaja (ahlu al-Sunnah wa
al-jama’ah) selama ini masih belum dipahami secara tuntas sehingga menjadi
“rebutan” setiap golongan, semua kelompok mengaku dirinya sebagai penganut
ajaran aswaja dan tidak jarang label itu digunakan untuk kepentingan sesaat.
Jadi, apakah yang dimaksud dengan aswaja itu sebenarnya? bagaimana pula dengan
klaim itu, dapatkah dibenarkan?
Aswaja merupakan singkatan dari istilah ahlun, al-Sunnah wa
al-Jama’ah, dan dari situ ada tiga kata yang membentuk istilah tersebut;
1.
Ahlun
berarti keluarga, golongan atau pengikut.
2.
Al-Sunnah
yaitu segala sesuatu yang telah diajarkan oleh Rasulullah Saw. meliputi
perkataan, perbuatan dan ketetapannya.
3.
Al-Jama’ah
yakni apa yang telah disepakati oleh para sahabat pada masa al-Khulafa’
al-Rasyidin (Khalifah Abu Bakar as-Shiddiq Ra., Sayyidina Umar bin Khattab Ra.,
Sayyidina Utsman bin Affan Ra., dan sayyidina Ali bin Abi Thalib Krw).[1]
رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
فِيْ خِلاَفَةِ اْلأَئِمَّةِ اْلأَرْبَعَةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ
اَلْمُهْدِيِّـيْنَ رَحْمَةُ اللهِ عَلَيْهِمْ اَجْمَعِيْنَ.
Yang dimaksud dengan al-Sunnah adalah
apa yang telah diajarkan oleh Rasulullah Saw. (meliputi ucapan, perilaku serta
ketetapan beliau). Sedangkan pengertian al-Jama’ah adalah segala sesuatu yang
telah menjadi kesepakatan para sahabat Rasulullah Saw. Pada masa al Khulafa’ al
Rasyidin yang empat yang telah diberi hidayah (mudah-mudahan Allah Swt. memberi
rahmat pada mereka semua).[2]
Selanjutnya, Syaikh Abi al-Fadhl bin ‘Abdus Syakur
menyebutkan dalam kitab al-Kawakib al-Lamma’ah:
اَهْلُ السُّنَّةِ وَالْجَمَاعَةِ الَّذِيْنَ
لاَزِمُوْا سُنَّةَ النَّبِـىِّ وَطَرِيْقَةَ الصَّحَابَةِ فِى اْلعَقَائِدِ
الدِّيْنِيَّةِ وَاْلأَعْمَالِ الْبَدَنِيَّةِ وَاْلأَخْلاَقِ الْقَلْبِيَّةِ .
Yang disebut Ahlu al-Sunnah wa al-Jama’ah adalah orang-orang
yang selalu berpedoman pada sunnah Nabi Saw. dan jalan para sahabatnya dalam
masalah aqidah keagamaan, amal-amal lahiriyah serta akhlaq hati.[3]
Aswaja versi bahasa terdiri dari tiga
kata, Ahlu, Al-Sunnah, dan Al-Jama’ah. Kata Ahlu diartikan
sebagai keluarga, komunitas, atau pengikut. KataAl-Sunnah diartikan
sebagai jalan atau karakter. Sedangkan kata Al-Jamaah diartikan
sebagai perkumpulan. Arti Sunnah secara istilah adalah segala sesuatu
yang diajarkan Rasulullah SAW., baik berupa ucapan, tindakan, maupun ketetapan.
Sedangkan Al-Jamaah bermakna
sesuatu yang telah disepakati komunitas sahabat Nabi pada masa Rasulullah SAW.
dan pada era pemerintahan Khulafah Al-Rasyidin (Abu Bakar, Umar,
Utsman, dan Ali). Dengan demikian Ahlusssunnah Wal Jamaah adalah komunitas
orang-orang yang selalu berpedoman kepada sunnah Nabi Muhammad SAW. dan jalan
para sahabat beliau, baik dilihat dari aspek akidah, agama, amal-amal
lahiriyah, atau akhlak hati.[4]
Jama’ah mengandung beberapa pengertian, yaitu: kaum ulama
atau kelompok intelektual; golongan yang terkumpul dalam suatu pemerintahan
yang dipimpin oleh seorang amir; golongan yang di dalamnya terkumpul
orang-orang yang memiliki integritas moral atau akhlak, ketaatan dan keimanan
yang kuat; golongan mayoritas kaum muslimin; dan sekelompok sahabat Nabi
Muhammad SAW.[5]
Menurut Imam
Asy’ari, Ahlusssunnah Wal
Jamaah adalah golongan yang
berpegang teguh kepada al-Qur’an, hadis, dan apa yang diriwayatkan sahabat,
tabi’in, imam-imam hadis, dan apa yang disampaikan oleh Abu Abdillah Ahmad ibn
Muhammad ibn Hanbal.[6]
Menurut KH. M.
Hasyim Asy’ari, Ahlusssunnah
Wal Jamaah adalah golongan
yang berpegang teguh kepada sunnah Nabi, para sahabat, dan mengikuti warisan
para wali dan ulama. Secara spesifik, Ahlusssunnah
Wal Jamaah yang berkembang di
Jawa adalah mereka yang dalam fikih mengikuti Imam Syafi’i, dalam akidah
mengikuti Imam Abu al-Hasan al-Asy’ari, dan dalam tasawuf mengikuti Imam
al-Ghazali dan Imam Abu al-Hasan al-Syadzili.[7]
Menurut
Muhammad Khalifah al-Tamimy, Ahlusssunnah
Wal Jamaah adalah para
sahabat, tabiin, tabiit tabi’in dan siapa saja yang berjalan menurut pendirian
imam-imam yang memberi petunjuk dan orang-orang yang mengikutinya dari seluruh
umat semuanya.[8]
Definisi di
atas meneguhkan kekayaan intelektual dan peradaban yang dimilikiAhlusssunnah
Wal Jamaah, karena tidak
hanya bergantung kepada al-Qur’an dan hadits, tapi juga mengapresiasi dan
mengakomodasi warisan pemikiran dan peradaban dari para sahabat dan orang-orang
salih yang sesuai dengan ajaran-ajaran Nabi. Terpaku dengan al-Qur’an dan hadis
dengan membiarkan sejarah para sahabat dan orang-orang saleh adalah bentuk
kesombongan, karena merekalah generasi yang paling otentik dan orisinal yang
lebih mengetahui bagaimana cara memahami, mengamalkan dan menerjemahkan ajaran
Rasul dalam perilaku setiap hari, baik secara individu, sosial, maupun
kenegaraan. Berpegang kepada al-Qur’an dan hadis ansich, bisa mengakibatkan hilangnya esensi (ruh) agama, karena akan terjebak pada aliran dhahiriyah (tekstualisme) yang mudah menuduh bid’ah kepada
komunitas yang dijamin masuk surga, seperti khalifah empat.[9]
Pengertian pendidikan Islam.
Pendidikan Islam secara fundamental
adalah berdasarkan Al-qur’an yang dengan keuniversalannya terbuka bagi setiap
orang untuk mempelajari serta mengkritisinya. Segala bentuk usaha untuk
mengkaji dan menampilkan gagasan-gagasan tentang konsep pendidikan Islam
merupakan usaha positif. Hal ini karena agama Islam yang diwahyukan kepada
Rasulullah s.a.w adalah mengandung implikasi pendidikan yang bertujuan menjadi
rahmatan lil-alamin.[10]
Setidaknya terdapat tiga istilah yang lazim digunakan dalam pendidikan Islam,
yaitu al-Tarbiyat, al-Ta’lim dan al-Ta’dib.[11]
Menurut Ahmad Tafsir sebagaimana
dikutip oleh Prof. Dr. H. Jalaluddin kata tarbiyat mengandung arti memelihara,
membesarkan dan mendidik yang didalamnya sudah termasuk mengandung makna
mengajar atau allama. Dari segi linguistik menurut Al-Attas istilah ilmu
diterapkan dalam Islam mencakup keseluruhan hidup yang bersifat universal untuk
menuntun hidup manusia menuju keselamatan. Sebagaimana dalam tulisannya: From
the point of view of linguistic usage, we must see that the fact that the term
ilm has been applied in Islam to encompass the totality of life – the
spiritual, intellectual, religious, cultural, individual and social - means
that its character is universal, and that it is necessary to guide man to his
salvation.[12]
Sedangkan kata ta’dib oleh Naquib
al-Attas diartikan sebagai pendidikan untuk manusia. Sedangkan menurut Muhammad
Yunus dan Qosim Bakri dalam bukunya yang berjudul Kitabut Tarbiyat Wata’limi
adalah: Pengertian pendidikan menurut istilah adalah: segala pengaruh yang
dipilih yang bertujuan untuk membantu siswa dalam rangka meningkatkan jasmani
dan rohani serta akhlak (tingkah laku) sehingga sampai pada tujuan yang
sempurna.[13]
Menurut Abdurrahman an-Nahlawi. “Pendidikan
Islam adalah pendidikan yang mengantarkan manusia pada perilaku dan perbuatan
manusia yang berpedoman pada syari’at Allah SWT”.[14]
Menurut Drs. Ahmad D. Marimba.
“Pendidikan Islam adalah bimbingan jasmani dan rohani berdasarkan hukum-hukum
agama Islam munuju terbentuknya kepribadian utama menurut ukuran-ukuran Islam.[15]
B. Peran Aswaja Terhadap Pendidikan
Aswaja dalam bidang pendidikan islam
sangat krusial/penting sekali dikembangkan sebagai nilai pendidikan islam di
Indonesia, disamping itu pendidikan aswaja muncul karena kebutuhan masyarakat
Indonesia, yaitu pendidikan agama dan moral.
Hal diatas dapat dibuktikan
dengan keadaan bangsa yang kita rasakan sekarang, dewasa ini banyak anak cucu
kita yang meniru budaya barat, misalnya, berpakaian yang mengundang hawa nafsu,
pergaulan bebas dll . Hal itu membuktikan bahwasannya nilai agama dan nilai
moral generasi penerus bangsa ini melemah. Akan tetapi, permasalahan tersebut
adalah bagaimana jika para orang tua lemah dalam nilai-nilai agama dan
moralitas. Sehingga tak ada contoh bagi pemuda bangsa untuk memperbaiki moral?
Pendidikan Aswaja muncul sebagai
jawaban dari pertanyaan diatas. Pendidikan aswaja mempunyai kelebihan, salah
satunya: pendidikan aswaja tidak hanya ditujukan ke lembaga pendidikan saja
namun juga di tujukan kepada masyarakat luas, hal ini dapat memperkuat aspek
agama maupun moralitas masyarakat. Misalnya acara pengajian rutin yang di isi
oleh ulama’ , hal itu sangat baik untuk meningkatkan nilai-nilai agama dalam
masyarakat.
Hal lain yang istimewa dari
pendidikan aswaja adalah: pendidikan yang lebih dikonsentrasikan pada lembaga
pendidikan islami atau dapat disebut pondok pesantren. Hal itu dapat membantu
kita selaku orang tua supaya anak cucu kita dapat mengenal nilai-nilai agama
dan moral.[16]
C. Tujuan Aswaja Terhadap Pendidikan
Pendidikan Aswaja baik di tingkat
dasar maupun menengah bertujuan untuk memperkenalkan dan menanamkan nilai-nilai
paham Aswaja secara keseluruhan kepada peserta didik, sehingga nantinya akan
menjadi muslim yang terus berkembang dalam hal keyakinan, ketakwaan kepada
Allah Swt., serta berakhlak mulia dalam kehidupan individual maupun kolektif,
sesuai dengan tuntunan ajaran Islam Ahlussunnah Waljama’ah yang dicontohkan
oleh jama’ah, mulai dari sahabat, tabi’in, tabi’it dan para ulama dari generasi
ke generasi.[17]
Tujuan aswaja sebenarnya adalah
mengarahkan kepada pembentukkan generasi baru (generasi yang beriman dan
berpegang teguh kepada ajaran-ajaran Islam yang benar) yang mengikuti
sunah Nabi Muhammad SAW, dimana generasi baru itu bekerja untuk
memformat umat ini dengan format Islam dalam semua aspek
kehidupan. Oleh karena itu, sarana yang digunakan untuk mewujudkan tujuan
tersebut terbatas pada perubahan terbatas pada perubahan tradisi pada umumnya
dan pembinaan para pendukung dakwah agar komitmen dengan ajaran-ajaran Islam,
sehingga mereka menjadi teladan bagi orang lain dalam berpegang teguh
kepada-Nya, memelihara dan tunduk kepada hukum-hukum-Nya.[18]
Serta agar manusia berada dalam
kebenaran dan senantiasa berada dalam jalan yang lurus, jalan yang telah
digariskan oleh Allah Subhanahu Wata’ala. Inilah yang akan
mengantarkan manusia kepada kebahagiaan di dunia dan akhirat.[19]
Pengabdian kepada Allah Ta’ala merupakan esensi dari
tujuan pendidikan akhlak. Dan termasuk pengabdian kepada
Allah Ta’ala adalah berakhlaq mulia. Akhlaq seseorang akan
dianggap mulia jika perbuatannya mencerminkan nilai-nilai yang terkandung dalam
al-Qur’an. Dan assunah juga yang termasuk dalam tujuan pendidikan
akhlaq adalah mencetak pribadi yang berkarakter Islami yang
menjalankan syari’at Islam sesuai dengan sunnah Rosulullah Shoalllohu
‘alaihi Wasalam.
Pendidikan
akhlaq dalam Islam berbeda dengan pendidikan-pendidikan moral lainnya
karena pendidikan akhlaq dalam Islam lebih menitik beratkan pada hari
esok. Dari sini tampak bahwa pendidikan akhlaq dalam Islam lebih
mengedepankan aspek pembentukan akhlaq.
D. Pendidikan Berbasis Aswaja
Mata pelajaran muatan lokal
pengembangannya sepenuhnya ditangani oleh sekolah dan komite sekolah yang
membutuhkan penanganan secara profesional dalam merencanakan, mengelola, dan
melaksanakannya. Dengan demikian di samping mendukung pembangunan daerah dan
pembangunan nasional, perencanaan, pengelolaan, maupun pelaksanaan muatan lokal
memperhatikan keseimbangan dengan kurikulum tingkat satuan pendidikan.
Penanganan secara profesional muatan lokal merupakan tanggung jawab pemangku
kepentingan ( stakeholders) yaitu sekolah dan komite sekolah. Muatan lokal terdiri
dari beberapa macam, namun salah satunya adalah Ke-Nu-An / Aswaja.
Pengurus Pusat Lembaga Pendidikan
Ma’arif Nahdlatul Ulama (LP Ma’arif NU) telah menyelesaikan penyelerasan
Kurikulum Aswaja dan ke-NU-an sesuai dengan karakteristik Kurikulum 2013 (K-13).
Kegiatan ini sendiri dilaksanakan pada tanggal 13-15 Agustus 2014 di Bogor.
Hadir dalam kegiatan perwakilan dari Pengurus Wilayah LP Ma’arif NU Jawa Timur,
Jawa Tengah, Jawa Barat, DKI Jakarta, dan Lampung.
Penyelarasan kurikulum Aswaja ini
dinilai sangat penting, disamping untuk mewujudkan proses pembelajaran yang
lebih baik, juga diharapkan akan mendorong Kemenag RI untuk memberikan pengakua
secara tertulis bahwa Aswaja sebagai muatan lokal yang diajarkan di lingkungan
Nahdlatul Ulama.
Sebagaimana yang disampaikan oleh
Sekretaris Pengurus Pusat LP Ma’arif NU, Zamzami, S.Ag., M.Si, “Nanti kita akan
dorong Kemenag RI untuk memberikan pengakuan secara tertulis Kurikulum Aswaja
dan ke-NU-an ini sebagai muatan lokal di lingkungan Nahdlatul Ulama,”.
Pada
tahun ajaran ini, lanjut Zamzami, Kurikulum Aswaja dan ke-NU-an sudah bisa
diterapkan di seluruh madrasah dan sekolah LP Ma’arif NU yang berjumlah kurang
lebih 13 ribu unit. “Pendidikan Aswaja kami harapkan akan berjalan semakin
masif kedepannya.[20]
Sekolah/madrasah memiliki peran dan
pengaruh yang sangat besar, sebab di madrasah-lah seorang anak menghabiskan
sebagian besar waktunya. Madrasah merupakan tempat kedua setelah rumah,
sebagaimana di dalamnya berkumpul dengan berbagai anak dari berbagai latar
belakang lingkungan dan sosial, sehingga mereka membawa berbagai macam
pemikiran, adat kebiasaan dan karakter kepribadian juga menjelaskan dan
mentransformasikan sesuatu yang sebelumnya tidak diketahuinya.[21]
Yang merupakan tugas atau peranan
penting yang paling mendasar oleh sebuah madrasah adalah mengimplementasikan
ibadah kepada Alloh Azza Wa Jala, juga meluruskan pemahaman yang salah
dari segi akidah maupun ibadahnya serta untuk menuai akhlaq yang mulia dan
terpuji. Serta mengosongkan seorang pembelajar dari kejahiliyahan dan
pembangkangan baik itu dari segi akidah, ibadah, akhlaq dan pemikirannya,
menghiasinya dengan pendidikan yang benar baik dari segi akidah, ibadah,
akhlaq, dan pemikirannya bukan sekedar teori tetapi
dengan implementasi yang nyata.
Madrasah juga memiliki komponen-komponen yang mesti ada di
dalamnya, seperti: mu’alim (pendidik), metode pembelajaran, kegiatan
belajar, serta idaroh madrasah.[22]
Macam- pendidikan antara lain:
1. Pendidikan Akidah
Pendidikan pertama yang harus
diterima setiap pemuda muslim ialah pendidikan akidah yang benar. Yaitu
akidah Salafiyah yang dianut oleh generasi salaf umat ini. Sebab
Alloh Ta’ala telah menjadikan akidah para sahabat sebagai standar
akidah yang benar. Allah Ta’ala berfirman yang artinya:
“Maka jika mereka beriman kepada apa yang kamu
telah beriman kepadanya, sungguh mereka telah mendapat petunjuk; dan jika
mereka berpaling, Sesungguhnya mereka berada dalam permusuhan (dengan kamu).
Maka Allah akan memelihara kamu dari mereka. dan Dia-lah yang Maha mendengar
lagi Maha mengetahui.[23]
Ibn Al-Qoyyim rohimahulloh mengatakan:
“tauhid adalah perkara pertama yang didakwahkan oleh para Rosul, persinggahan
pertama di tengah jalan, dan pijakan pertama yang menjadi pijakan orang yang
melangkah kepada Alloh ta’ala.[24]
Jadi, setiap pendidik hendaknya tidak
pernah membiarkan setiap kesempatan berlalu tanpa membekali para anak didik
dengan bukti-bukti yang menunjukkan kepada Alloh Ta’ala,
bimbingan-bimbingan yang bisa memperkokoh iman, dan peringatan-peringatan yang
bisa memperkuat aspek akidah. Teknik pemanfa’atan kesempatan untuk memberikan
nasihat-nasihat keimanan ini adalah teknik yang dipillih oleh sang pendidik
pertama (Muhammad sholallohu ‘alaihi wasalam). Beliau selalu berusaha
mengarahkan para peserta didik untuk mengangkat dan memperkuat keimanan dan
keyakinan yang ada di dalam hati mereka.[25]
2. Pendidikan Pemikiran
Yang dimaksud pendidikan pemikiran di
sisni ialah mendidik generasi muda Islam dengan pola pikir Salaf, menankan
paham-paham yang benar di dalam jiwa mereka, dan mengingatkan mereka agar
waspada terhadap paham-paham yang salah.
Sistem pendidikan pemikiran ini yang
benar ini diharapkan akan membuahkan pemuda-pemuda yang terdidik dengan pola
pikir Salaf dan mengikuti cara Salaf dalam memahami
al-Qur’an dan Hadits.
Disamping itu mereka juga memiliki
kekebalan terhadap pemikiran-pemikiran salah yang ada di dunia Islam dan
paham-paham yang bertentangan dengan apa yang dianut oleh generasi Salaf.[26]
Abdullah Nasih Ulwan mengatakan: “para pendidik harus
mengajarkan kepada para pembelajar semenjak remaja mengenai fakta-fakta berikut
ini:
a)
Islam
adalah Din yang abadi dan berlaku dimana saja dan kapan saja.
b)
Komitmen
tinggi dan beristiqomah dalam mengamalkan hukum-hukum Alloh akan meraih
kejayaan.
c)
Terbongkarnya
perencanaan-perencanaan yang dirumuskan oleh musuh-musuh Islam.
d)
Terungkapnya
fakta tentang peradabaan Islam yang selama kurun waktu tertentu dalam sejarah
pernah menjadi guru bagi seluruh isi dunia.
e)
Para
pembelajar harus mengetahui bahwa kita memasuki panggung sejarah bukan dengan
Abu Jahl dan Ubay bin khalaf. Kita memasuki panggung sejarah dengan Rosul, Abu
Bakr dan ‘Umar.[27]
3. Pendidikan Iman.
Yang dimaksud pendidikan
iman ialah upaya untuk menambah iman kepada Alloh Ta’ala dan
hari akhir, memperdalam makna iman, dan meningkatkan kualitas hati sampai pada
level dia dapat merasakan manisnya iman, mencintai keta’atan kepada
Alloh Ta’ala dan menjauhi kenakalan dan kemaksiatan.[28]
4. Pendidikan Akhlak
Menurut Ibnu Masykawaih, akhlaq adalah kondisi kejiwaan yang
mendorong manusia melakukan sesuatu tanpa pemikiran dan pertimbangan. Kondisi
ini terbagi menjadi 2 macam:
a)
Kondisi
alami yang berasal dari watak dasar seseorang.
b)
Kondisi
yang diperoleh melalui kebiasaan dan latihan. Kondisi ini terkadang diawali
dengan pertimbangan dan pemikiran, tetapi kemudian berlanjut sedikit demi
sedikit hingga menjadi tabi’at dan perangai.
Kondisi yang kedua inilah yang
dimaksud dengan pendidikan akhlak. Maksudnya mendidik generasi muda Islam
dengan akhlak-akhlak yang mulia, seperti jujur, amanah, istiqomah, itsar dan
lain-lain.[29]
5.Pendidikan Adab dan Sunnah
Nabi Sholallohu ‘alaihi Wasalam
Salah
saatu materi pendidikan yang harus diajarkan kepada generasi muda Islam yang
memiliki cita-cita membangun masyarakat muslim dan mengembalikan khilafah
Islamiyah menurut cara Nabi Sholallohu ‘alaihi Wasalam ialah
adab-adab dan sunnah-sunnah Nabi Sholallohu ‘Alaihi Wasalam.Adab-adab itu
banyak jumlahnya, ada adab-adab yang diterima seorang muslim dirumah dan
sekolahnya melalui suri tauladan yang baik. Akan tetapi sekarang ini kita hidup
di zaman mana suri tauladan yang baik sulit ditemukan. Kini, sebagian besar
rumah tangga muslim tidak memilikinya dan menggantinya dengan adab-adab Barat
dan nilai-nilai yang diimpor dari peradaban Barat yang kafir.
Hal
itu adalah akibat dari penyebaran piranti-piranti keji, seperti
televisi yang merusak banyak sekali nilai-nilai ke-islaman dan adab-adab
yang diajarkan Nabi Sholallohu ‘Alaihi Wasalam, membunuh rasa cemburu
suami, menghilangkan rasa malu wanita, dan membuat masyarakat muslim tidak
banyak berbeda dengan masyarakat Barat yang kafir.
Oleh
karena itu, para praktisi pendidikan harus memperhatikan upaya-upaya
untuk menghidupkan nilai-nilai yang luhur dan adab-adab Islam, lalu menyiarkan,
menyebarluaskan dan mengajarkannya. Mudah-mudahan AllohTa’ala berkenan
memberkahi usaha-usaha tersebut dan menyelamatkan anak-anak muslim dari
terjangan banjir maksiat dan syahwat, dan segala macam upaya untuk memalingkan
dari Alloh Ta’ala.[30]
6. Pendidikan Jasmani
Abdullah Nasih Ulwan mengatakan: “salah
satu sarana pendidikan yang paling efektif yang ditetapkan oleh Islam dalam
mendidik individu-individu dalam masyarakat secara fisik dan menjaga
kesehatan mereka adalah mengisi waktu luang mereka dengan kegiatan-kegiatan
jihad, latihan-latihan ketangkasan dan olahraga setiap ada waktu dan
kesempatan.
Hal itu mengingat agama Islam dengan
prinsip-prinsipnya yang toleran dan ajaran-ajarannya yang luhur telah
menggabungkan antara keseriusan dan kesantaian, atau dengan kata lain memadukan
antara tuntunan ruhani dan kebutuhan jasmani. Islam memberikan perhatian yang
besar terhadap pendidikan jasmani dan perbaikan mental dengan intensitas yang
sama
Dan ketika sudah menginjak usia aqil baligh, dia membutuhkan
perhatian yang besar dalam aspek pendidikan kesehatan dan pembentukan fisiknya.
Bahkan baginya lebih diutamakan mengisi waktu-waktu luangnya dengan segala
macam kegiatan yang menyehatkan badannya, menguatkan organ-organ tubuhnya, dan
memberrikan kesegaran dan kebugaran keseluruh tubuhnya.
Hal itu disebabkan oleh 3 hal:
a)
Banyaknya
waktu luang yang dimilikinya.
b)
Untuk
melindunginya dari serangan berbagai macam penyakit.
BAB III
PENUTUP
Tidak bisa dipungkiri lagi, bahwa
pendidikan islam di indonesia dengan nilai-nilai aswajanya harus mengoptimalkan
perannya dalam pembentukan karakter bangsa melalui pendidikan. Cita-cita luhur
yang mengikuti sunah Nabi Muhammad SAW, menciptakan generasi-generasi yang
mandiri, manju, cakap, dan beretika bisa dicapai dengan dengan baik. Hal ini
sesuai dengan diutusnya Rasulullah SAW ke muka bumi ini yaitu untuk
menyempurnakan akhlaq, atau dengan bahasa lain untuk mewujudkan pendidikan
karakter yang arif, bijaksana dan kontekstual. Ini menjadi tugas berat bagi
kita sebagai orang yang beriman untuk bersama-sama menjaga kelestarian
ajaranajaran Rasulullah seiring perubahan zaman. Semoga kita benar-benar
perpegang teguh al-muhafadzatu ala al-qadimis shalih wal akhdzu bi al-jadiidil
ashlah dan mengaplikasikannya dalam kehidupan bernegara.
DAFTAR PUSTAKA
1. Al-Ghunyah li Thalibi Thariq al-Haqq,
juz I.
2. Al-Kawakib al-Lamma’ah.
3. FKI LIM, Gerbang
Pesantren, Pengantar Memahami Ajaran Ahlussunnah wal Jama’ah Kediri :
Litbang Lembaga Ittihadul Muballigin PP. Lirboyo, 2010, cet. 2.
4. Badrun Alarna, NU, Kritisisme
dan Pergeseran Makna Aswaja, Yogyakarta : Tiara Wacana, 2000, cet.
1.
5. Abi al-Hasan Ali ibn Ismail
al-Asy’ari, al-Ibanah An Ushul al-Diyanah, Beirut : Dar al-Kutub
al-Ilmiyyah.
6. Zuhairi Misrawi, Hadratussyaikh
Hasyim Asy’ari, Moderasi, Keumatan, Dan Kebangsaan, Jakarta : Kompas,
2010, cet. 1.
7. Sahilun A. Nasir, Pemikiran
Kalam (Teologi Islam), Sejarah, Ajaran, dan Perkembangannya, Jakarta :
Rajawali Press, 2010, cet. 1.
8. Jamal Makmur Asmani, Manhaj
Pemikiran Aswaja, dalam. http://aswajacenterpati.wordpress.com/2012/04/02/manhaj-pemikiran-aswaja/ di akses Senin, 8 Juni
2015.
10. Prof.DR. H. Jalaluddin, Teologi
Pendidikan, ( Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2001).
11. Syed Muhammad Al Naquib Al Attas,
Aims And Objectives Of Islamic Education, ( Jeddah: King Abdulazis
University,1979).
12. Muhammad Yunus Dfan Qosim Bakri,
Kitabut Tarbiyah Wa Talimi.
13. Abdurrahman An Nahlawi, Pendidikan
Islam Di Sumah, Sekolah Dan Masyarakat,(terj) shihabuddin: Gema Insani Press,
1995).
14. Ahmad Marimba, Pengantar Filsafat Pendidikan Islam,
( Bandung: PT. Al maarif,1974).
15. http://buletinalamin.blogspot.com/2013/05/peran-pendidikan-aswaja-dalam-lingkup.html/diakses Senin, 8 Juni 2015.
16. https://mtsmaarifrck.wordpress.com/aswaja/
diakses Senin, 8 Juni 2015.
17. Iwan Prayitno.
2003. Kepibadian Da’i: Bahan Panduan bagi Da’I dan
Murobbi. Bekasi: Pustaka tarbiyatuna.
18. Ali Abdul Hamid Mahmud.
2004. Akhlak Mulia. Jakarta : Gema Insani Press.
19. http://www.maarif-nu.or.id/Warta/tabid/156/ID/2676/Kurikulum-2013-untuk-Mata-Pelajaran-Aswaja-dan-ke-NU-an-Sudah-Siap-Diterapkan.aspx.
diakses senin, 8 juni 2015.
20. ummu ihsan choiriyah & abu ihsan
al-atsary, Mencetak Generasi Rabbani! Mendidik Buah Hati Menggapai Ridha
Ilahi, Darul Ilmi.
21. Khâlid Bin Hâmid
al-Hâzimî, Ushûl at-Tarbiyah al-Islâmiyah, Madinah Munawwaroh: Dâr ‘Âlam al-Kutub,
1420 H/2000 M.
22. Ahmad Farid, Pendidikan Berbasis
Metode Ahlus Sunnah wal Jama’ah,Surabaya: Pustaka elba, 2011.
[1] Al-Ghunyah li Thalibi Thariq al-Haqq, juz I, hal.80
[2] Ibid.
[3] Al-Kawakib al-Lamma’ah hal. 8-9
[4] FKI LIM,
Gerbang Pesantren, Pengantar Memahami Ajaran Ahlussunnah wal Jama’ah Kediri : Litbang Lembaga Ittihadul Muballigin PP.
Lirboyo, 2010, cet. 2, hlm. 3
[5] Badrun
Alarna, NU, Kritisisme dan Pergeseran Makna Aswaja, Yogyakarta : Tiara Wacana, 2000,
cet. 1, hlm. 33
[6] Abi
al-Hasan Ali ibn Ismail al-Asy’ari, al-Ibanah An Ushul al-Diyanah, Beirut : Dar al-Kutub al-Ilmiyyah,
t.t., hlm. 14
[7] Zuhairi
Misrawi, Hadratussyaikh Hasyim Asy’ari, Moderasi, Keumatan, Dan Kebangsaan, Jakarta : Kompas, 2010, cet. 1, hlm.
107
[8] Sahilun A.
Nasir, Pemikiran
Kalam (Teologi Islam), Sejarah, Ajaran, dan Perkembangannya, Jakarta : Rajawali Press, 2010, cet.
1, hlm. 190
[9] Jamal Makmur Asmani, Manhaj Pemikiran Aswaja, dalam. http://aswajacenterpati.wordpress.com/2012/04/02/manhaj-pemikiran-aswaja/ di akses Senin, 8 Juni 2015.
[10] http://kafeilmu.com/pengertian-pendidikan-islam/
[11] Prof.DR. H. Jalaluddin, Teologi Pendidikan, ( Jakarta:
PT. Raja Grafindo Persada, 2001) hlm.70
[12] Syed Muhammad Al Naquib Al Attas, Aims And Objectives
Of Islamic Education, ( Jeddah: King Abdulazis University,1979),hlm.37
[13] Muhammad Yunus Dfan Qosim Bakri, Kitabut Tarbiyah Wa
Talimi.
[14] Abdurrahman An Nahlawi, Pendidikan Islam Di Sumah,
Sekolah Dan Masyarakat,(terj) shihabuddin: Gema Insani Press, 1995) hlm.26
[15] Ahmad D Marimba, Pengantar Filsafat Pendidikan Islam,
( Bandung: PT. Al maarif,1974)hlm.23
[16]
http://buletinalamin.blogspot.com/2013/05/peran-pendidikan-aswaja-dalam-lingkup.html
[17] https://mtsmaarifrck.wordpress.com/aswaja/
[18] Iwan Prayitno.
2003. Kepibadian Da’i:
Bahan Panduan bagi Da’I dan Murobbi. Bekasi:
Pustaka tarbiyatuna. Hal, 385
[19] Ali Abdul Hamid Mahmud.
2004. Akhlak Mulia.
Jakarta : Gema Insani Press. hal, 159
[21] ummu ihsan choiriyah & abu
ihsan al-atsary, Mencetak
Generasi Rabbani! Mendidik Buah Hati Menggapai Ridha Ilahi, Darul Ilmi, hal.229
[22] Khâlid Bin Hâmid al-Hâzimî, Ushûl at-Tarbiyah al-Islâmiyah,
Madinah Munawwaroh: Dâr ‘Âlam al-Kutub, 1420 H/2000 M, Hal.342
[23] Ahmad Farid, Pendidikan Berbasis Metode Ahlus
Sunnah wal Jama’ah,Surabaya: Pustaka eLBA, 2011, Hal.116
[24] Ahmad Farid, Pendidikan Berbasis Metode Ahlus
Sunnah wal Jama’ah,Surabaya: Pustaka eLBA, 2011, Hal.120
[25] Ahmad Farid, Pendidikan Berbasis Metode Ahlus
Sunnah wal Jama’ah,Surabaya: Pustaka eLBA, 2011, Hal.125
[26] Ahmad Farid, Pendidikan Berbasis Metode Ahlus
Sunnah wal Jama’ah,Surabaya: Pustaka eLBA, 2011, Hal.138
[27] Ahmad Farid, Pendidikan Berbasis Metode Ahlus Sunnah
wal Jama’ah,Surabaya: Pustaka eLBA, 2011, Hal.170
[28] Ahmad Farid, Pendidikan Berbasis Metode Ahlus
Sunnah wal Jama’ah,Surabaya: Pustaka eLBA, 2011, Hal.202
[29] Ahmad Farid, Pendidikan Berbasis Metode Ahlus
Sunnah wal Jama’ah, Surabaya: Pustaka eLBA, 2011, Hal.237
[30] Ahmad Farid.2011, Pendidikan Berbasis
Metode Ahlus Sunnah wal Jama’ah, Surabaya: Pustaka eLBA, Hal.263
[31] Khâlid Bin Hâmid al-Hâzimî, Ushûl at-Tarbiyah
al-Islâmiyah, Madinah Munawwaroh: Dâr ‘Âlam al-Kutub, 1420 H/2000 M, Hal.342
No comments:
Post a Comment